Dongeng


DEWI SEKAR SERUNI

Tersebutlah Dewi Sekar Seruni. Dia adalah putri Prabu Galih Pamesti dari kerajaan Mantura. Ketika itu, sang dewi yang cantik jelita sedang menghadap ramandanya di ruang istana.
“Putriku, ketahuilah! Sebentar lagi Pangeran Angin-angin akan dinobatkan menjadi raja muda menggantikan ramandanya, Prabu Banu Kawekas yang wafat beberapa waktu lalu. Maka dari itu, bila putriku tidak keberatan, Ramanda memintamu hadir pada upacara agung itu. Bersediakah kau Putriku?” sabda sang Prabu.
“Hamba bersedia, Ramanda”wab sang Dewi.
“kalau begitu, besok pagi bergegaslah ke kerajaan Khayangan, ajaklah Dayang untuk menemanimu!” Sambung Prabu Galih Pamesti.
“Baiklah, Ramanda!” Kata Dewi dengan muka berseri.
Terus terang saja, Sang Dewi merasa bahagia dengan tugas ini, sebab sebentar lagi dia akan bertemu dengan Pangeran Angin-angin. Begitulah, sang Dewi memang telah lama dijodohkan dengan Pangeran Angin-angin, tetapi hingga kini dia belum pernah melihatnya.
Pagi-pagi benar, sang Dewi dan Dayang meninggalkan Kerajaan Mantura. Mereka menunggang kuda jantan yang cukup tangguh untuk menempuh perjalanan jauh. Dengan penuh semangat, mereka pacu kuda-kuda itu agar lebih cepat larinya. Mereka berharap tengah malam nanti sudah sampai di pusat kota Kerajaan Khayangan.
Sesekali Sang Dewi dan Dayang melecutkan cambuk kecil ke tubuh kuda tunggangannya, sehingga kuda-kuda itu berkelebat cepat dengan meninggalkan kepulan debu yang berterbangan. Dan kedua orang itu, sebentar saja telah menuruni perbukitan, lalu menuju ke sebuah lembah.
Begitu tiba di tempat ini, mendadak saja sang dewi dan Dayang menarik tali kekang kuda. Seketika kuda-kuda perkasa menghentikan langkahnya. Masih diatas pelana kuda, sang Dewi dan Dayang saling berpandangan sejenak, kemudian keduanya meloncat turun dari punggung kuda, sebab sejengkal di hadapan mereka ada sebuah sungai yang melintang, yang menghambat perjalanan mereka.
“Dayang, tuntunlah kuda-kuda ini ke seberang. Jika sudah, jemputlah aku. Aku perlu bantuanmu, sebab aku takut menyebrangi sungai ini” ujar Dewi setelah turun dari kudanya.
“Baiklah...” kata Dayang sambil meraih tali kekang yang membelenggu kuda.
Dengan hati-hati Dayang segera menuntun kuda-kuda itu. Tetapi begitu sampai di seberang sungai, dan malahan setelah menambatkan kuda-kuda itu di bawah rumpun bambu, ternyata Dayang tidak kembali lagi seperti pesan sang Dewi.
Dayang justru berseru, “Tidakkah Dewi kasihan kepadaku? Aku sedah lelah, silahkan Dewi menyebrang sendiri!”
Tentu saja sang Dewi terkejut mendengar ucapan Dayang, tetapi dia cuma bisa mengeluh dalam hati, “Oh mengapa Dayang tak mau kuperintah? Benarkah dia lelah? Tetapi, mengapa dia begitu tega kepadaku? Baiklah kalau begitum terpaksa kusebrangi sungai ini sendirian!”
Meski dengan lutut gemetaran, dan bahkan kadang kala tubuhnya tergelincir, tetapi akhirnya sang Dewi berhasil menyebrangi sungai itu. Hatinya jadi lega. Dia pun meghela napas, lantas memandang ke arah rumpun bambu. Tak jauh dari situ, sang Dewi melihat Dayang tengah naik ke punggung kuda.
Melihat sikap aneh Dayang, sang Dewi bergumam lirih, “Ada apa dengan Dayang? Bukankah selama ini dia ramah? Tetapi mengapa tiba-tiba dia jadi tak peduli kepadaku. Ah, coba kutanyakan dia!”
Sang Dewi segera menghampiri Dayang dan bertanya, “Ada apa denganmu, Dayang?”
Dayang tetap duduk angkuh di atas pelana kuda. Mukanya tampak masam, dan dengan ketus dia menjawab “Mengapa tanya-tanya segala? Sudahlah, tak perlu banyak cakap. Lebih baik segera saja naik ke kudamu, aku bosan berlama-lama di tempat ini!”
Mendengar ucapan Dayang, sang Dewi tak mampu berbuat apa-apa. Dia segera menghampiri kudanya dan melanjutkan perjalanan lagi.
Setelah sekian lama menunggang kuda, kedua orang itu tiba di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon mangga. Cabang-cabangnya tampak runduk karena menahan buah-buahan yang begitu lebat. Ranum dan segar-segar.
Sang Dewi tertarik untuk memetik beberapa buah mangga. Ingin sekali dia menyantap buah mangga yang menggugah seleranya itu, sebagai pengganjal perutnya yang lapar. Maka setelah menghentikan kudanya, sang Dewi menoleh ke arah Dayang.
“Uh, dengar Dewi, mulai sekarang aku tak mau kauperintah lagi!” jawab Dayang seraya menatap tajam ke muka sang Dewi.
“Oh” desah sang Dewi, “Baiklah kalau begitu...”
Karena didorong oleh rasa lapar, sang Dewi terpaksa memetik buah mangga sendirian. Sambil duduk diatas pelana kuda, diraihnya buah yang cabangnya paling rendah.
Setelah dirasa cukup, sang Dewi turun dari kudanya. Kemudian dia mengeluarka sebilah pisau pendek dari balik ikat pinggangnya.
Beberapa buah mangga lantas dia kupas kulitnya dan disantapnya hingga tak tersisa lagi.
Seketika muka sang Dewi menjadi berseri. Kedua pipinya yang semula pucat, kini kelihatan bercahaya kembali. Sementara segenap kekuatannya juga telah pulih seperti sedia kala. Maka sang Dewi bermaksud naik ke punggung kuda dan melanjutkan perjalanan.
“Turun dari kudamu!” tiba-tiba terdengar suara Dayang berteriak sengit.
“Turun!” ulang Dayang karena sang Dewi kelihatan bingung. Kini Dayang bertindak menurut gayanya yang asli. Tanpa rasa takut lagi, dia berkata apa adanya kepada sang Dewi.
“Hai Seruni, ketahuilah yang sebenarnya! Bila selama ini aku bermanis muka kepadamu, itu kulakukan karena aku punya rencana tersembunyi!” Dayang mengawali kata-katanya.
“Jelasnya, aku iri kepadamu Seruni! Aku ingin menjadi putri raja! Dan kini, segalanya akan kuperoleh di tempat ini! Wahai, langit dan bumi, dengarkan.... mulai sekarang, kuangkat diriku menjadi putri raja, sedangkan Seruni tak lebih Cuma budak yang harus tunduk kepadaku.... ha... ha...” ujar Dayang sambil tertawa.
“Oh, Dayang sabarlah....” sela sang Dewi mencoba menenangkan Dayang.
“Cukup! Aku tak butuh nasihatmu! Sekarang, cepat serahkan semua bawaanmu!” kali ini Dayang berkata ketus sambil mengangkat tangannya.
Karena dituding tepat di depan matanya, sang Dewi segera menundukkan kepala. Dia tak berani mengangkat muka karena ngeri melihat wajah Dayang yang merah padam itu. Dayang memang marah. Segenap perasaan iri yang selama ini menumpuk di dadanya, kini ditumpahkan dengan cara membentak-bentak sang Dewi. Maka, takutlah sang Dewi, tetapi Dayang bertambah beringas saja.
Sebentar saja Dayang telah merampas kalung milik sang Dewi, lalu memasangkannya di leher sendiri. Dengan suatu gerakan cepat, kotak kayu yang berisi pakaina sang Dewi juga telah berpindah ke tangannya. Masih ada lagi yang dirampasnya, cincin sang Dewi. Batu permata yang melingkar indah di jari manis itu kini berada di genggamannya.
“Aku masih berbaik hati kepadamu, Seruni. Jika kau tidak ingin mati karena dimangsa binatang buas, ikutlah denganku! Tetapi syaratnya, kau harus tunduk kepadaku, mengerti?” kata dayang tanpa rasa belas kasihan.
Sang Dewi Cuma mengangguk, dan Dayang kembali berkata, “Sekarang, cepatlah berkemas! Kita segera berangkat!”
Selesai berkata, Dayang melompat ke punggung kuda dan menggebrak kudanya ke arah selatan, menuju Kerajaan Khayangan. Dan tak ada pilihan lagi bagi sang Dewi, kecuali mengikuti jejak Dayang, karena sebentar lagi matahari terbenam.
Malam hari ketika langit timur bertaburan bintang, Dayang dan Dewi tiba di kotaraja. Setelah mendapatkan penginapan, Dayang segera terlelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Sedang Dewi Sekar Seruni Cuma duduk bermuram durja. Bahkan, hingga ayam jantan berkokok menyambut datangnya pagi, sang Dewi tak mampu memejamkan mata. Dia gelisah memikirkan nasibnya.
Kotaraja mulai ramai. Dari jendela biliknya, sang Dewi mencoba melihat keadaan di luar sana. Meski pagi masih temaram oleh kabut, ternyata di sepanjang jalan telah banyak orang berbondong-bondong mrnuju alun-alun istana.rupanya mereka ingin menyaksikan upaca penobatan Pangeran Angin-Angin menjadi raja muda. Anak-anak kecil tak mau ketinggalan. Dengan digandeng oleh orang tuanya, mereka berharap bisa melihat kirab agung, yaitu sang Pangeran diarak mengelilingi istana dengan kereta kencana.
Sang Dewi mendesah, tetapi Dayang keburu mendekat dan membentaknya, “Hai Seruni, cepat bantu aku berdandan!”
Singkat cerita, Dayang telah memasuki ruang istana. Punggawa Kerajaan Khayangan menyambut kedayangan Dayang dengan penuh rasa hormat. Mereka mengira yang datang adalah Dewi Sekar Seruni. Jadi, tak perlu heran, bila Dayang langsung dipersilahkan duduk di deretan terdepan, bersama para tamu agung lainnya. Semua tak tahu kalau yang berpakaian putri raja ini tak lebih cuma seorang abdi saja.
Tatkala itu, Dayang melirik ke dampar kencana, yaitu tempat duduk yang diperuntukkan bagi sangraja. Tetapi tak dijumpai Pangeran Angin-angin duduk di sana. Tahta itu masih kosong.
Begitulah, sebab upacara agung memang belum dimulai. Meski begitu, kiranyaDayang boleh berbahagia. Tentunya baru kali ini dia bisa memamerkan perhiasan yang serba gemerlap. Bahkan, dia juga boleh berbesar hati, sebab puluhan abdi itu, tak bosan-bosannya melayani apa saja yang dia pinta. Maka, Dayang pun mengangkat muka sambil bersenyum bangga.
Sementara itu, di luar sana, tepatnya di bawah pohon beringin, keadaannya sungguh berbeda. Yang tampak hanyalah seorang putri yang sedang meratapi nasibnya.
“Ramanda, tolong aku.... mengapa semua derita ini menimpaku? Oh, Pangeran Angin-angin.... semoga Pangeran mendengar keluhanku.... aku ingin melihat wajahmu Pangeran....,” kata Dewi Sekar Seruni di sela isak tangisnya.
Pada saat itu, suatu keanehan tiba-tiba terjadi di depan mata sang Dewi. Seekor burung bangau putih tanpa diketahui kehadirannya telah muncul. Dan yang lebih mengagetkan lagi, burung berbulu putih itu bisa berbicara selayaknya manusia.
“Jangan menangis, wahai Dewi Sekar Seruni....” ujar burung bangau tadi.
“Benarkah yang kulihat ini?” kata Dewi Sekar Seruni sambil mengusap matanya, “benarkah kau bangau yang bisa bicara? Lalu bagaimana kau bisa tahu namaku?”
”Ya, karena aku selalu mengikuti perjalananmu Dewi. Jadi. Aku juga tahu apa saja yang membuat Dewi berduka. Bukankah Dayang telah merampas pakaianmu, lalu mencapakkan engkau menjadi budaknya?” ucap Bangau seraya menggerakkan sayapnya.
“Begitulah nasibku, burung bangau...,” sambung Dewi Sekar Seruni menimpali.
“Ya, tetapi sebentar lagi penderitaan Dewi akan berakhir!” kata burung bangau.
“Benarkah itu? Bagaimana kau bisa yakin?” tanya sang Dewi.
“Percayalah! Yang penting, bersediakah sang Dewi, jika kelak dipersunting pangeran Angin-angin?” ujar burung bangau.
“Aku bersedia, bangau,” jawab sang Dewi.
Selesai sang Dewi berkata, burung bangau menggelengkan kepalanya tiga kali. Entah bagaimana peristiwa ini bisa terjadi. Tiba-tiba segumpal asap menyelimuti bangau. Makin lama makin pekat hingga tubuh si burung lenyap dari pandangan mata.
Sang Dewi bertambah heran saja. Begitu asap putih itu menghilang, maka tampilah sosok pemuda tampan berdiri tegap sambil menyilangkan tangan. Kemudian sosok itu membuka matanya dan berkata, “Dewi Sekar Seruni, janganlah takut, mendekatlah kemari!”
Meski sang Dewi ragu-ragu, tetapi dia memberanikan diri mendekati sosok rupawan itu. Lalu kata sang Dewi, “Siapakah kau ini?”
“Aku Pangeran Angin-angin!” jawabnya singkat.
Mendengar sebuah nama tersebut, berlututlah sang Dewi sambil menghaturkan sembah. Tetapi tangan sang pangeran dengan cepat segera meraih tangan sang Dewi dan mwngajaknya berdiri.
“Maaf Pangeran, bukankah saat ini pangeran sedang dinobatkan menjadi raja muda? Tetapi mengapa berada disini?” tanya sang Dewi.
“Upacara penobatan belum dimulai, Dewi! Para punggawa masih menungguku karena aku baru saja bersemedi di Gua Dahana. Karena itu Dewi, sekarang ikutlah bersamaku!” kata Pangeran Angin-angin seraya menggandeng Dewi Sekar Seruni memasuki Istana Khayangan.
Di dalam istana, Sang Pangeran bersabda, “Segenap duta bangsa dan punggawaku, inilah Dewi Sekar Seruni yang sebenarnya. Sedang perempuan yang berpakaian layaknya putri raja itu, hanyalah Dayang yang mencelakakan permaisuriku. Maka kuperintahkan pada hulubalangku, singkirkan dia!”
Semua yang hadir terperanjat! Segala perhatian lalu tertuju pada Dayang yang segera ditangkap para hulubalang. Dan begitu akhirnya, setelah dinobatkan menjadi raja muda, Pangeran Angin-angin mempersunting Dewi Sekar Seruni menjadi permaisurinya. Keduanya hidup bahagia, sedang Dayang dihukum setimpal dengan perbuatan jahatnya.

Amanat yang dapat kita ambil dari kisah dongeng diatas ialah :
1.    Harus menjaga kepercayaan dan tanggung jawab yang telah orang lain berikan.
2.    Jangan pernah untuk berkhianat kepada siapapun.
3.    Bersyukur atas apa yang dimiliki
4.    Bersabar dalam menghadapi segala cobaan hidup.
5.    Segala perbuatan akan dibalas dengan setimpal.

sumber : Buku Dongeng Seri Kerajaan
penerbit : PT MANDIRA
jln. MT Haryono 501, Semarang 50136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar